Tuesday, September 7, 2010

Menulis Sejarah Diri

Catatan itu, foto-foto itu. Kehilangan, terus terang. Perpindahan dari Negeri Momiji ke Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi --yang semakin dipertanyakan keabsahan maknanya untuk negeri ini--, membuat saya menghentikannya. Perlahan, tapi sudah jadi kenyataan.

Seminggu terakhir saya serius membaca beberapa buku. Dua di antaranya Larry King : Master Mic dan Hiroshima (John Hersey). Larry King menulis otobiografi. Sejarah dirinya sendiri. John Hersey tidak muncul sama sekali di bukunya yang setelah terbit hanya dalam waktu beberapa jam habis ludes --Albert Einstein ingin membeli 1000 eksemplar tapi kehabisan--. John Hersey menulis sejarah diri orang-orang biasa. Orang-orang yang tak pernah dilirik media arus utama. Keduanya menjadi guru. Menulis sejarah diri sendiri, menulis sejarah orang lain. Sama-sama menulis.Itulah irisannya.

Satu buku jadi bingkai pikiran dan tafsir atas bacaan-bacaan itu. Buku yang memuat sejarah diri orang-orang yang sudah lama berlalu. Dan petunjuk untuk membaca dan menafsiri orang-orang sekarang serta membayangkan orang-orang masa depan. Buku ini bernama Al-Qur'an. Satu-satunya buku yang tak menyertakan nama penulis.

Penghentian saya pada proses mencatat dan merangkum foto-foto itu dipicu kesibukan. Aktifitas yang, di negara kelahiran saya ini, tidak mudah dibuat ritmenya. Ada macet, ada janji yang tak ditepati, ada budaya yang berubah begitu cepat. Mengundang rasa asing sekaligus rindu masa remaja atau kanak-kanak dulu. Ketika saya tak mempermasalahkan semua itu.

Penghentian itu juga karena pergolakan nurani tentang seberapa pentingnya menulis sejarah diri. Adakah itu tanda kebanggaan pada diri sendiri? Menganggap diri begitu penting sehingga orang lain perlu membacanya?

Bacaan-bacaan itu menjawab nurani saya. Tidak. Semuanya akan kembali pada niat. Kalau memang untuk menjadikan diri penting, maka hasilnya hanya sampai di situ. Kalau memang untuk proses bercermin, maka, sungguh, segala sesuatunya memang akan sampai pada niatnya semula.

Salah satu pelajaran yang saya temukan di bacaan yang jadi bingkai tafsir itu adalah, hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya. Lalu bagaimana seseorang bisa memperhatikan bila tak menuliskannya dalam catatan-catatan? Seberapa banyakkah ia mampu mengingat dan merenungi menit-menit yang dilaluinya, hari demi hari, hingga tahun berganti sampai puluhan kali?

Ada yang mencela menulis sejarah dirisendiri sebagai wujud narsis. Orang-orang Arab menyebutnya ujub. Tapi, manakah yang lebih jelek hakikatnya, tulisan yang benar adanya, ataukah tulisan khayalan alias cerita yang dibuat-buat?

Maka bekerjalah, maka melangkahlah. Lalu pada akhirnya Dia juga yang akan menilai. Sejarah diri memang perlu ditulis. Tafsir penulis, tafsir pembaca, semuanya tak ada yang bisa memastikan. Yang jelas, dalam setiap catatan di situ ada ruang berpikir dan merasa. Lebih baik ada, daripada tiada.

---

Ramadan 28, 1431
7 September 2010

No comments:

Post a Comment