Tuesday, November 15, 2011

Jakarta, Singapura, Manila

Beberapa hari ini, kami berkesempatan untuk mengunjungi Filipina.

Saat tiba di NAIA (Ninoy Aquino International Airport), saya merasakan bahwa Soekarno Hatta International Airport (dikenal dunia dengan singkatan SHIA, atau bagi orang Indonesia, cukup disebut: Soetta) jauh lebih bagus. Namun, sebelumnya, kami transit di Changi-Singapura. Dari segi rapi dan resiknya Changi, terasa bahwa Singapura memang negara yang lebih maju dari Indonesia. Tidak ada kerumunan orang yang terkesan hiruk-pikuk tak beraturan, termasuk porter; juga tak ada perokok yang asapnya siap meracuni siapa saja.

Saat transit, kami salat Duhur jamak Asar di "Bilik Salat". Berdampingan dengan ruangan itu, ada "Bilik Meditasi" (saya lupa memastikan ruangan itu untuk pemeluk agama apa). Tata ruang salat terasa nyaman dan bersih. Ada tembok yang tidak sampai plafon yang memisahkan laki-laki dan perempuan, sehingga masih bisa saling mendengarkan suara. Meski tidak saling lihat, salat berjamaah bisa dilakukan.

Untuk pindah dari terminal satu ke terminal lainnya (ada tiga terminal) di Changi, harus menggunakan kereta. Konsepnya mirip Bandara Narita, Jepang. Dengan konsep transportasi trem yang memisahkan terminal, Changi dan Narita jauh lebih aman daripada bandara yang bisa diakses lewat "darat" (baca: jalan kaki/kendaraan seperti mobil, motor). Menurut suami, biaya pembangunan Bandara Changi dan Soetta, sama. Asian Development Bank yang menyuntikkan dana. Orang-orang Jepang yang melewati Soetta, kerap bilang, "Dananya sama dengan Changi, tapi hasilnya kenapa beda..."

Meski begitu, bila dibandingkan dengan NIAI, Soetta masih jauh lebih bagus. NIAI adalah satu di antara 10 bandara yang paling menyebalkan di dunia (beritanya bisa dilihat di sini). Bahkan, www.sleepinginairports.net melabeli NIAI sebagai bandara terburuk di dunia. Sementara,sebaliknya, Changi bandara terbaik.

Bagaimana dengan Soetta?

www.jakartatour.com
mengklaim bahwa Soetta adalah salah satu bandara terindah di dunia. Benarkah?

Di http://www.oobject.com/category/most-beautiful-airport-terminals/ , dari 12 terminal bandara tercantik di dunia, Soetta tidak masuk. Demikian juga di www.travelandleisure.com , Soetta sama sekali tidak disinggung. Tidak juga di www.airliners.net . Aneh, yang "mengklaim" Soetta sebagai salah satu bandara tercantik di dunia, cuma situs yang berkepentingan dengan peningkatan turisme Jakarta. Memang, pada 1995, Soetta mendapat penghargaan Aga Khan Award, tapi ini tidak berarti jadi yang tercantik di dunia.

Soetta didesain arsitek Paul Andreu, yang juga merancang bandara internasional Paris: Charles de Gaulle. Kedengarannya mungkin keren. Tapi, bandara Charles de Gaulle ini bertahan dua tahun sebagai bandara nomor satu terburuk di dunia versi www.sleepinginairports.net . Adapun di situs www.flightstats.com , rating Soetta 2.8 dari maksimal skala 5, sedangkan CDG cuma 2.3 dan NIAI 1.9. Bangga? Owh. Dalam hal kebaikan, sebaiknya lihat ke atas. Malu dong sama Singapura yang dapat nilai 4.7 dari 5.

### Makati, 18 November 2011

Monday, October 10, 2011

MELATI BELANDA


Sempat cemas, Melati Belanda (Quisqualis indica) kena penyakit daun bertotol-totol. Lalu menguning, lalu rontok. Jangankan bunga, daun pun miskin. Tapi, sepertinya itu karena proses adaptasi ganti tuan dan ganti rumah. Tuannya yang dulu mungkin jarang menyiramnya, tuannya yang sekarang kelewat banyak kasih air, pagi-sore sampai banjir. Tapi, Melati Belanda tak lama-lama ngambek. Pada suatu sore, tuannya kaget melihat banyak sekali pucuk daun yang keluar. Awalnya cuma dikira pucuk daun. Eh, ternyata jadi bunga juga! Subhanallah. Terima kasih ya Allah.

Melati Belanda ini jenis tanaman merambat. Senja hari mengeluarkan aroma yang sangat wangi, sehingga memang cocok ditaruh di teras. Sambil menikmati purnama, indera penciuman juga dimanja wewangian alami. Alhamdulillah.

Saturday, September 24, 2011

Jump Into Conclusion

Selera bahasa saya sedang menyukai judul berbahasa Inggris seperti di atas. Bukan karena lagi pengen ke-inggris-inggrisan. Tapi karena kali ini, rasanya ungkapan dalam bahasa Inggris di atas lebih cocok. Saya sudah memikirkan judul-judul lain berbahasa Indonesia yang kira-kira bisa menggantikannya dengan sempurna, mewakili nuansa yang ingin saya sampaikan, tapi tidak menemukannya.

"Lompat ke dalam keputusan"?
"Tergesa-gesa mengambil keputusan"?
"Keputusan dini"?
"Pendek pikiran"?

Ah, keempatnya tidak pas. Saya menyukai ekspresi "Jump", yang membawa imajinasi sesuatu melompat; proses yang mendadak dan cepat, bukan sekedar 'melangkah' (saya lupa kode HTML-nya untuk garis bawah!).

Singkat kata, begini.

Ada tetangga yang mengundang kami ke rumahnya. Datang pagi hari, undangannya siang hari. Pada siang hari, saya coba-coba mau ke rumahnya. Ternyata tamunya banyak sekali, dan bukan para tetangga, melainkan keluarga besarnya. Jadi malu rasanya melangkah ke sana. Ah, nanti sajalah kalau sudah agak sepi.

Matahari terus beranjak, mendekati peraduannya.

Ah, tak mengapalah bila saya datang sekedar membawa data diri; nama suami, anak, dan nomor hp/telepon rumah. Jadi, tetangga tersebut bisa menghubungi kami lebih mudah.

Saat mengantarkan kertas tersebut, Nyonya rumah berkata, "Ayo, masuk Bu, langsung makan..."

Aduh, saya sudah makan siang, di rumah juga ada tamu, anak-anak menunggu, suami pun sedang masuk kantor (meski hari itu Minggu).

"Makasih Bu, cuma mau ngantarin ini, kok... Biar nanti gampang telpon-telponan."

"Bu, kalau gak mau makan di sini, berarti gak mau bertetangga," kata ibu tersebut.

Jump into conclusion!

Inilah kekhasan percakapan sehari-hari di masyarakat Indonesia. Terasa ringan, santai, tapi, sebenarnya bisa menyesatkan. Seperti kilat, seketika mengambil kesimpulan. Sepihak.

### Cipayung, 24 September 2011

Tuesday, September 7, 2010

Menulis Sejarah Diri

Catatan itu, foto-foto itu. Kehilangan, terus terang. Perpindahan dari Negeri Momiji ke Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi --yang semakin dipertanyakan keabsahan maknanya untuk negeri ini--, membuat saya menghentikannya. Perlahan, tapi sudah jadi kenyataan.

Seminggu terakhir saya serius membaca beberapa buku. Dua di antaranya Larry King : Master Mic dan Hiroshima (John Hersey). Larry King menulis otobiografi. Sejarah dirinya sendiri. John Hersey tidak muncul sama sekali di bukunya yang setelah terbit hanya dalam waktu beberapa jam habis ludes --Albert Einstein ingin membeli 1000 eksemplar tapi kehabisan--. John Hersey menulis sejarah diri orang-orang biasa. Orang-orang yang tak pernah dilirik media arus utama. Keduanya menjadi guru. Menulis sejarah diri sendiri, menulis sejarah orang lain. Sama-sama menulis.Itulah irisannya.

Satu buku jadi bingkai pikiran dan tafsir atas bacaan-bacaan itu. Buku yang memuat sejarah diri orang-orang yang sudah lama berlalu. Dan petunjuk untuk membaca dan menafsiri orang-orang sekarang serta membayangkan orang-orang masa depan. Buku ini bernama Al-Qur'an. Satu-satunya buku yang tak menyertakan nama penulis.

Penghentian saya pada proses mencatat dan merangkum foto-foto itu dipicu kesibukan. Aktifitas yang, di negara kelahiran saya ini, tidak mudah dibuat ritmenya. Ada macet, ada janji yang tak ditepati, ada budaya yang berubah begitu cepat. Mengundang rasa asing sekaligus rindu masa remaja atau kanak-kanak dulu. Ketika saya tak mempermasalahkan semua itu.

Penghentian itu juga karena pergolakan nurani tentang seberapa pentingnya menulis sejarah diri. Adakah itu tanda kebanggaan pada diri sendiri? Menganggap diri begitu penting sehingga orang lain perlu membacanya?

Bacaan-bacaan itu menjawab nurani saya. Tidak. Semuanya akan kembali pada niat. Kalau memang untuk menjadikan diri penting, maka hasilnya hanya sampai di situ. Kalau memang untuk proses bercermin, maka, sungguh, segala sesuatunya memang akan sampai pada niatnya semula.

Salah satu pelajaran yang saya temukan di bacaan yang jadi bingkai tafsir itu adalah, hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya. Lalu bagaimana seseorang bisa memperhatikan bila tak menuliskannya dalam catatan-catatan? Seberapa banyakkah ia mampu mengingat dan merenungi menit-menit yang dilaluinya, hari demi hari, hingga tahun berganti sampai puluhan kali?

Ada yang mencela menulis sejarah dirisendiri sebagai wujud narsis. Orang-orang Arab menyebutnya ujub. Tapi, manakah yang lebih jelek hakikatnya, tulisan yang benar adanya, ataukah tulisan khayalan alias cerita yang dibuat-buat?

Maka bekerjalah, maka melangkahlah. Lalu pada akhirnya Dia juga yang akan menilai. Sejarah diri memang perlu ditulis. Tafsir penulis, tafsir pembaca, semuanya tak ada yang bisa memastikan. Yang jelas, dalam setiap catatan di situ ada ruang berpikir dan merasa. Lebih baik ada, daripada tiada.

---

Ramadan 28, 1431
7 September 2010

Wednesday, September 1, 2010

Sabar Itu Majemuk

Orang sempit pikiran mungkin dengan gampangnya menerjemahkan arti sabar sebagai sikap pasrah dan rela menjalani hidup apa adanya. Tanpa ada daya juang, tanpa ada daya mengubah. Sama seperti salah satu komentar yang masuk terhadap catatan kecil saya soal mengenali batas toleransi diri. Komentar itu berbunyi, sabar itu tak mengenal toleransi.

Memilih dengan sadar reaksi-reaksi kita terhadap lingkungan sekitar, dan bukannya sebaliknya, pasrah 'dikendalikan' oleh pihak-pihak luar, justru menuntut kesabaran yang lebih tinggi. Justru, saya tidak bisa melihat sikap sabar pada sikap pasrah jadi bulan-bulanan faktor-faktor luar.

Istilah sederhananya, tak ada orang yang bisa menyakiti hatimu kecuali kalau kamu sendiri mengizinkannya. Nah, untuk menyadari hal ini, bukankah dibutuhkan sabar yang tidak sedikit? Sedikitnya kadar kesabaran justru membuat orang dengan gampangnya larut dalam emosi, larut dalam kecewa, larut dalam sikap-sikap pihak luar yang tak sesuai harapan kita. Sedikitnya sabar juga membuat orang merasa takut kehilangan teman, merasa takut mengatakan 'tidak' untuk sesuatu yang tidak disukai karena khawatir tidak sabar menerima akibatnya.

Jadi, sabar dan toleransi, apakah ia dua hal yang bertolak belakang, atau saling mendukung?