Showing posts with label islam. Show all posts
Showing posts with label islam. Show all posts

Saturday, September 24, 2011

Jump Into Conclusion

Selera bahasa saya sedang menyukai judul berbahasa Inggris seperti di atas. Bukan karena lagi pengen ke-inggris-inggrisan. Tapi karena kali ini, rasanya ungkapan dalam bahasa Inggris di atas lebih cocok. Saya sudah memikirkan judul-judul lain berbahasa Indonesia yang kira-kira bisa menggantikannya dengan sempurna, mewakili nuansa yang ingin saya sampaikan, tapi tidak menemukannya.

"Lompat ke dalam keputusan"?
"Tergesa-gesa mengambil keputusan"?
"Keputusan dini"?
"Pendek pikiran"?

Ah, keempatnya tidak pas. Saya menyukai ekspresi "Jump", yang membawa imajinasi sesuatu melompat; proses yang mendadak dan cepat, bukan sekedar 'melangkah' (saya lupa kode HTML-nya untuk garis bawah!).

Singkat kata, begini.

Ada tetangga yang mengundang kami ke rumahnya. Datang pagi hari, undangannya siang hari. Pada siang hari, saya coba-coba mau ke rumahnya. Ternyata tamunya banyak sekali, dan bukan para tetangga, melainkan keluarga besarnya. Jadi malu rasanya melangkah ke sana. Ah, nanti sajalah kalau sudah agak sepi.

Matahari terus beranjak, mendekati peraduannya.

Ah, tak mengapalah bila saya datang sekedar membawa data diri; nama suami, anak, dan nomor hp/telepon rumah. Jadi, tetangga tersebut bisa menghubungi kami lebih mudah.

Saat mengantarkan kertas tersebut, Nyonya rumah berkata, "Ayo, masuk Bu, langsung makan..."

Aduh, saya sudah makan siang, di rumah juga ada tamu, anak-anak menunggu, suami pun sedang masuk kantor (meski hari itu Minggu).

"Makasih Bu, cuma mau ngantarin ini, kok... Biar nanti gampang telpon-telponan."

"Bu, kalau gak mau makan di sini, berarti gak mau bertetangga," kata ibu tersebut.

Jump into conclusion!

Inilah kekhasan percakapan sehari-hari di masyarakat Indonesia. Terasa ringan, santai, tapi, sebenarnya bisa menyesatkan. Seperti kilat, seketika mengambil kesimpulan. Sepihak.

### Cipayung, 24 September 2011

Wednesday, September 1, 2010

Sabar Itu Majemuk

Orang sempit pikiran mungkin dengan gampangnya menerjemahkan arti sabar sebagai sikap pasrah dan rela menjalani hidup apa adanya. Tanpa ada daya juang, tanpa ada daya mengubah. Sama seperti salah satu komentar yang masuk terhadap catatan kecil saya soal mengenali batas toleransi diri. Komentar itu berbunyi, sabar itu tak mengenal toleransi.

Memilih dengan sadar reaksi-reaksi kita terhadap lingkungan sekitar, dan bukannya sebaliknya, pasrah 'dikendalikan' oleh pihak-pihak luar, justru menuntut kesabaran yang lebih tinggi. Justru, saya tidak bisa melihat sikap sabar pada sikap pasrah jadi bulan-bulanan faktor-faktor luar.

Istilah sederhananya, tak ada orang yang bisa menyakiti hatimu kecuali kalau kamu sendiri mengizinkannya. Nah, untuk menyadari hal ini, bukankah dibutuhkan sabar yang tidak sedikit? Sedikitnya kadar kesabaran justru membuat orang dengan gampangnya larut dalam emosi, larut dalam kecewa, larut dalam sikap-sikap pihak luar yang tak sesuai harapan kita. Sedikitnya sabar juga membuat orang merasa takut kehilangan teman, merasa takut mengatakan 'tidak' untuk sesuatu yang tidak disukai karena khawatir tidak sabar menerima akibatnya.

Jadi, sabar dan toleransi, apakah ia dua hal yang bertolak belakang, atau saling mendukung?